Opini : Menuju Penyiaran Modern: Membahas Revisi Undang-Undang Penyiaran di Indonesia
Opini : Menuju Penyiaran Modern: Membahas Revisi Undang-Undang Penyiaran di Indonesia
Oleh : Nabilla Syaharani Nasution
Proses panjang revisi Undang-Undang Penyiaran dilatari dengan berbagai faktor-faktor utama maupun kepentingan-kepentingan di baliknya seperti tarik ulur keinginan pemerintah, industri penyiaran, publik yang terus berinteraksi dan berdinamika. Realitas perubahan teknologi komunikasi yang melanda berbagai negara di dunia juga mempengaruhi proses revisi Undang-Undang Penyiaran. Secara komprehensif arah perubahan Undang-Undang Penyiaran harus pada satu sisi merespon kemajuan teknologi digital broadcast, kewenangan KPI, Kewenangan Pemerintah, dan Pengaturan Isi Siaran. Tahapan revisi UU Penyiaran sudah berjalan cukup panjang hingga lebih dari 10 tahun. Sepanjang masa itu UU Penyiaran bahkan berkali-kali kali masuk dalam daftar Undang-Undang yang menjadi prioritas DPR RI untuk diselesaikan sehingga pembahasan UU Penyiaran masuk dalam agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI namun sampai dengan saat ini revisi UU Penyiaran belum selesai dan disahkan oleh DPR RIDan Bahkan agenda prolegnas mengalami kemandegan sampai saat ini, dikarenakan fenomena tarik menarik kepentingan yang melibatkan industri penyiaran atau Lembaga Penyiaran Televisi khususnya, Pemerintah, dan Publik, hal tersebut nampak terlihat oleh penulis pada aktiftas mengikuti proses pembahasan, diskusi publik yang diselenggarakan oleh Komisi 1 DPR RI KPI, Depkominfo maupun kelompok masyarakat yang tergabung dalam Non Goverment Organitation (NGO). Dalam artian Undang-Undang Penyiaran apabila dipetakan memiliki dimensi-dimensi yang berbeda. Pertama, tipe model of rules. Model ini berdimensi rule centered, yaitu orientasi pengaturan sistem penyiaran dengan memusatkan pada ketaatan peraturan perundang-undangan dan prosedur yang benar. Yuridiksi dan kewenangan yang tegas juga masuk dalam model ini Kedua, tipe legal realism. Dalam bentuknya model ini merupakan pengaturan sistem penyiaran yang berdimensi moralitas public responsibility, economic value serta sovereignty of the country. Ini artinya bahwa UU Penyiaran sebenarnya membentuk pola pikir atau nalar hukum yang mencakup pengetahuan dalam konteks sosial dan professional responsibility yang bersentuhan dengan teknologi yang melibatkan penerapan pengetahuan (technology involves the aplication of knowledge) melalui kreatifitas program siaran, daya pancar siarannya disamping itu, secara substansi kita pahami dan sepakati, bahwa uu penyiaran adalah uu yang mengetengahkan prinsip diversitas kepemilikan yang diikuti dengan diversitas isi (content) siaran, menggolongkan jasa penyiaran radio dan televisi dengan kategori penyelenggara penyiaran publik, swasta, komunitas, berlangganan dan medelegasikan kewenangan negara dalam perannya sebagai regulator kepada lembaga independen yang disebut Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Tentu secara ideal dalam kepentingan atau filosofis perlindungan publik, KPI diberikan kewenangan mengatur hal-hal tentang penyiaran didalamnya terdapat kewenangan melakukan evaluasi perijinan melalui rekomendasi report isi siaran lembaga penyiaran khususnya televisi ijin sekaligus diberikan kewenangan rekomendasi pencabutan ijin Lembaga Penyiaran dari hasil pencermatan atau fungsi pengawasan konten, dengan suatu pemahaman atau pandangan secara mendalam adanya hubungan sebab akibat adanya jaminan kewenangan pemberian dan pencabutan ijin lembaga penyiaran terhadap kualitas tayangan televisi sehat yang melindungi kepentingan publik dari dampak negatif tayangan televisi.