Perkumpulan Pengawas Penyelenggara Negara (PPPN) Desak Presiden , KPK, Kejaksaan Agung , Menteri ATR dan BPN Usut Tuntas Mafia Tanah di Tapanuli Utara Provinsi Sumatera Utara
Perkumpulan Pengawas Penyelenggara Negara (PPPN) Desak Presiden , KPK, Kejaksaan Agung , Menteri ATR dan BPN Usut Tuntas Mafia Tanah di Tapanuli Utara Provinsi Sumatera Utara.
GBNNews.net,Taput — Sertifikat Marak terbit tanpa alas hak di Tapanuli Utara , Provinsi Sumatera Utara, salah satu lahan bekas hutan yang menjadi Alokasi Penggunaan Lain (APL) seluas 161 ha menjadi sertifikat hak milik (SHM) tanpa alas hak dikeluarkan oleh ATR dan BPN Tapanuli –Utara sejak tahun 2001 saat itu dijabat Alfacri Budiman SH.
Pada pengadaan hutan cadangan 10 ribu ha di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten perbatasan dilaksanakan pada tahun 1952, salah satu lokasi hutan cadangan yang tanahnya bersumber dari masyarakat terletak di Desa Pohan Tonga Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara, menjadi sertifikat hak milik orang lain dan diduga sebagian menjadi SHM oknum pejabat dan penyelenggara negara.
Tahun 1952 sekitar 52 orang warga Pohan Tonga menyerahkan tanah 161 ha untuk dijadikan hutan cadangan dan dituangkan dalam suatu surat pernyataan dan ditandatangani pejabat terkait secara hierarki.
Sekitar tahun 1988 hutan cadangan yang ditanami pohon pinus Mercuri diatas lahan 161ha ditebang oleh PT.Inti Indo Rayon Utama (IIU) atau PT.Toba Pulp Lestari,tbk sesuai dengan hak konsesi dan HPH (hak pengelolaan hutan) yang dimiliki.
Setelah berakhirnya hak konsesi dan seluruh pohon pinus jenis Mercuri ditebangi oleh PT.Inti Indo Rayon Utama para pemilik tanah mengklaim tanah nya masing masing dan membuat permohonan terhadap Pemkab Tapanuli Utara, dimana tanah 161 ha menjadi APL dan kewenangan ada di pemerintahan daerah.
Sekitar 20 ha lahan tanah yang sudah diajukan pengembaliannya terhadap Pemkab Tapanuli –Utara dan DPRD Kabupaten Tapanuli Utara sudah menempuh langkah langkah atau sudah memproses dan warga masyarakat Pohan Tonga selaku objek lokasi dan pemilik menguasai masing masing tanahnya.
Setelah Presiden Soeharto lengser pada tahun 1998 dan terjadi pemekaran di Kabupaten Tapanuli Utara, sekitar 20 ha dari luas tanah 161 ha , dimohonkan Kepala Daerah terhadap Menteri Kehutanan untuk digunakan untuk Investor membuka Pengelolaan Nenas dan Kopi di Kabupaten Tapanuli –Utara.
Pada hal status tanah adalah APL ( Alokasi Penggunaan Lain) dan merupakan kewenangan pemerintah daerah dan atau tidak ada kewenangan Kementerian dimana status tanah adalah tanah masyarakat dan bukan tanah hutan negara.
Dalam permohonan Bupati Tapanuli Utara tahun 2002 dan 2003 terhadap Menteri Kehutanan , tanah seluas 20 ha itu akan digunakan kepentingan Investor dan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara bersiap sedia mengeluarkan anggaran dalam pembebasannya.
Ternyata ke 2 (kedua) surat Bupati Tapanuli Utara terhadap menteri Kehutanan tidak memperoleh jawaban , pasalnya tidak ada kewenangan Menteri Kehutanan untuk membebaskan tanah tersebut, akan tetapi surat permohonan tidak mendapat tanggapan pembangunan 2 (dua) perusahaan Investor Kopi dan Nenas tetap dilaksanakan , sehingga ada 3 desa yang berbatasan dengan tanah saling merebut tanah seluas 141 ha dan tanah yang dijadikan pengelolaan Kopi dan Nenas , dihentikan sampai saat ini.
Aneh Bin Nyata ke 2 perusahaan yaitu PT.Investasi Agro Tapanuli.tbk dan PT.Alami Agro Industri.tbk tidak terdaftar di Dispenloka Kabupaten Tapanuli Utara dan bukan menjadi asset Pemkab Tapanuli Utara, sedangkan dalam Surat Bupati Kabupaten Tapanuli Utara pada 2003 bersiap sedia menyiapkan anggaran dalam pembebasannya tentu mengeluarkan anggaran dari Pemda Kabupaten Tapanuli Utara.
Tanah seluas 20 ha yang digunakan untuk ke dua Investor adalah memiliki Hak Guna Usaha atau Hak Guna Bangunan (HGU/HGB) yang digunakan dengan tenggang waktu tertentu dan berakhir dengan Alokasi Penggunaan Lain (APL) dan tidak dapat diperjualbelikan oleh pemegang Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan (HGU/HGB).
Sisa tanah seluas 141 ha dari luas tanah 161 ha hutan cadangan menjadi ajang keributan antar 3 Desa yang berbatasan langsung dengan tanah yaitu Desa Pohan Tonga , Desa Lobusiregar dan masyarakat kampung Pariksabungan Desa Silangit, masalah tersebut sudah berlarut larut dan menuai permusuhan bahkan pertumpahan darah.
Warga kampung masyarakat Pariksabungan juga mengklaim tanah 161 ha merupakan milik warga tanpa alas hak , sedangkan tanah yang dijadikan hutan cadangan ada seluas 10.000 ha dan tersebar di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten perbatasan.
Beberapa warga kampung pariksabungan mengklaim tanah dan mengikuti langkah Bupati Tapanuli Utara tahun 2002 dan 2003 mengajukan surat permohonan tertulis pengembalian lahan hutan seluas 161 ha terhadap Menteri Kehutanan.
Dalam balasan surat Menteri Kehutanan terhadap pemohon menjelaskan pengembalian tanah seluas 161 ha merupakan tugas dan kewenangan pemerintah daerah secara hierarchi dan mempersilahkan untuk menagih ke Pemerintah Daerah serta membawa alas hak atau data data bukti kepemilikan.
Sebagai referensinya pemohon atau Warga Masyarakat pariksabungan tidak memperoleh surat surat atau data data sebagai bukti kepemilikan atas tanah seluas 161 ha, akibat tidak dapat membuktikan surat masyarakat yang mengajukan mencabut permohonan dan tidak berhak lagi berkeberatan atas tanah tersebut dan menjadi milik warga masyarakat Desa Pohan Tonga dan Desa Lobusiregar 1 , Kecamatan Siborong-borong Kabupaten Tapanuli Utara.
Walaupun surat permohonan sudah dicabut , namun masih ada oknum oknum warga Desa Pariksabungan memperjualbelikan tanah tersebut dan bahkan ATR dan BPN Kabupaten Tapanuli Utara menerbitkan sertifikat hak milik (SHM) tanpa alas hak yang benar atau recghts titel.
Surat permohonan pengembalian telah dicabut dan tidak berhak lagi , warga Masyarakat Pohan Tonga dan warga Lumbanjulu Desa Loabusiregar 1 mengklaim tanah, ternyata beberapa warga pariksabungan sudah memiliki sertifikat hak milik diatas tanah tersebut dan melaporkan permasalahan ini ke Polres Kabupaten Tapanuli Utara.
Bupati Kabupaten Tapanuli Utara Drs.Nikson Nababan mendeklarasikan hak implementasinya sesuai dengan kewenangan kepala daerah mengajukan surat permohonan terhadap seluruh instansi terkait termasuk terhadap menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, namun karena kewenangan ada di pemerintah daerah tidak memperoleh jawaban.
Melalui ketum Perkumpulan Pengawas Penyelenggara Negara (PPPN) Ganda Tampubolon mengajukan permohonan tertulis terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan melakukan ploting atas tanah seluas 161 ha di Desa Pohan Tonga Kecamatan Siborong-borong pada tahun 2018, sebagai referensi melaporkan permasalahan hutan tersebut terhadap Kejaksaan Agung secara hierarki, hal ini sesuai dengan Undang Undang Kejaksaan No.16 Tahun 2004” tentang Kejaksaan RI mengenai peredaran barang cetakan dan mengenai ketertiban umum .
Selanjutnya menyurati Gubernur Sumatera Utara , Dinas LHK Provinsi Sumatera Utara serta Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dalam suratnya menyerahkan ke Kejaksaan Negeri Kabupaten Tapanuli Utara, sebagai tindaklanjutnya sesuai dengan Undang Undang.
Hasil konfirmasi terhadap Kejaksaan Negeri Kabupaten Tapanuli Utara melalui Mangasi Simanjuntak “ menyatakan akan menindaklanjuti, namun yang menjadi skala prioritas banyaknya persoalan yang sedang ditangani dan berproses apalagi saat ini menjelang pilpres dan pileg.
Mangasi Simanjuntak menyebutkan permasalahan ini bukan hanya diranah Kejaksaan dan masih ada penegak hukum lain yaitu Pengadilan , Kepolisian dan ATR dan BPN, lagi pula sesuai dengan Pasal 78 masalah ini sudah kadaluarsa, namun Ganda Tampubolon menyatakan pada pasal 78 tindak pidananya harus dikualifikasi atau tergantung jenis pidana.
Kementerian ATR/BPN telah menangani 130 kasus mafia tanah sejak tahun 2018 s/d 2021 sebagaimana oleh Tenaga Ahli Menteri ATR/Kepala BPN Bidang Hukum dan Litigasi, Iing Sodikin Arifin dalam diskusi yang diselenggarakan Radio MNC Trijaya bertajuk ‘Bongkar Jaringan Mafia Tanah’ secara virtual.
Diskusi yang dihadiri Anggota Komisi II DPR RI M. Nasir Djamil, Anggota Ombudsman RI Dadan Suparjo, Sekjen Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI) Agus Muldya, dan Pakar Hukum Pertanahan dan Agraria Aartje Tehupeiory.
Menurut Iing Sodikin Arifin, saat ini Kementerian ATR/BPN sudah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Anti Mafia tanah bersama penegak hukum, dengan tujuan untuk mematikan seluruh jaringan mafia tanah di Indonesia. “Kita akan memperkuat justifikasinya, menggulung mafia tanah itu. Polisi kan sudah mengatakan, siapapun yang back up-nya kita lawan.
Itu sudah pernyataannya penegak hukum. Kita dalam pertanahan melindungi pemegang hak sebenarnya, artinya kalau dia memohon sertipikat bukan haknya, itu dibatalkan. Mari di momen ini, momen yang baik, bersama penegak hukum, Kementerian ATR/BPN, pemerhati agraria, Ombudsman, sama-sama mengawal pemberantasan mafia tanah,” tuturnya.
Dalam diskusi tersebut, Anggota Komisi II DPR RI, M. Nasir Djamil mengatakan bahwa Kementerian ATR/BPN bersama penegak hukum harus mengambil langkah yang cepat dalam rangka memberantas para mafia tanah. Program-program yang menyasar kepada masyarakat harus segera digalakkan, termasuk pemanfaatan teknologi untuk mempersempit pergerakan mafia tanah.
“Harus ada ombak besar berupa tsunami yang bisa membunuh mafia tanah di Indonesia. Ombak besar itu berupa perangkat regulasi, organisasi, dan juga hal-hal teknis yang selama ini sedang dilakukan ATR/BPN, misalnya mempercepat program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), Sertipikat dibuat elektronik yang dipastikan keamanan dan kerahasiaannya, kemudian juga hal-hal yang bagaimana BPN memanfaatkan teknologi. Yang paling penting menurut saya adalah sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat yang berjenjang. Ini dibutuhkan agar mafia tanah semakin sempit pergerakannya,” terang M. Nasir Djamil.
(@Red-GT)